Karaeng Tinrowa Rikappara

Tak lebih seratus meter dari garis pantai, bangunan makam itu berdiri. Di bawah naungan pohon kelapa, cat putihnya seperti layar yang memainkan adegan tentang angin yang menggoyang-goyangkan daun kelapa. Makam itu sendirian di sana. Tak ada makam lain yang menenaminya. Bangunannya serupa kamar toilet umum: ukuran + 4x3 m, beratap seng. Ia seperti rumah tua yang ditinggalkan namun senantiasa terawat. Di salah satu sudut, tertulis nama seseorang: Karaeng Tinrowa Rikappara.

Saya penasaran dengan nama itu. Siapakah dia? Tetua kampung atau seorang pahlawan?

“Karaeng Tinrowa Rikappara itu artinya Orang yang Tidur di Atas Nampan,” jawab Safar, seorang teman yang tinggal di kampung ini, saat kutanya arti nama itu.

Tapi ia tak bisa merisalahkan perihal riwayat hidup nama tersebut. Penasaran itu semakin mendekapku. Hingga sepulang dari pantai, aku bertemu seorang tua di sebuah rumah panggung. Daeng Nata’, namanya. Percakapan itu bermula dari bincang-bincang tentang sumur tua yang berdiri di samping rumahnya.

Sumur itu berdiameter + 1,5 meter. Hampir setengah temboknya telah ambruk dan sumbing. Dari sana kita bisa melihat ukuran batu-bata dan campuran semen yang digunakan: batu-bata yang lebih tebal dari yang digunakan saat ini, dengan campuran semen menggunakan pasir laut. Itu terlihat dari kerang-kerang kecil di sela-sela batu-bata. Ini memperkuat tulisan cat putih di dinding dalam sumur: SAKSI BISU PERANG 45.

“Sumur ini dibangun Belanda. Dulu digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain. Dulu airnya tak terlalu asin seperti saat ini,” kata Daeng Nata’.

Seusai bincang singkat tentang sumur, aku pun mulai bertanya tentang Karaeng Tinrowa Rikappara yang ‘bermukim’ depat pantai. Sembari duduk di sofa hijau usang di bawah rumahnya yang berlantai tanah, aku dan dua temanku khusyuk mendengarkan cerita yang mengalir dari bibir Daeng Nata’.
“Karaeng Tinrowa Rikappara adalah gelar yang diberikan setelah ia mati,” Daeng Nata’ memulai cerita. Cincin kuning keemasan yang bertengger di jari manis tangan kanannya kadang ia main-mainkan dengan jari telunjuk.

Daeng Nata’ lanjut bercerita:

“Dulu, ada salah satu raja Bone mencari pasangan hidup. Ia membuat sebuah cincin untuk pasangan hidupnya. Ia menyuruh prajuritnya untuk menemukan seorang perempuan yang jarinya pas dengan ukuran cincin tersebut. Sang Raja hanya mau menikah dengan perempuan yang jarinya cocok dengan cincin yang ia buat.

Suatu hari, prajurit sang raja melewati daerah Tino, Jeneponto ini. Mereka tiba-tiba melihat seorang perempuan cantik di balik sebuah jendela. Para prajurit langsung menyambangi rumah perempuan itu dan menyatakan maksud kedatangan. Mereka pun mencoba memasukkan cincin itu ke jari si perempuan. Dan hasilnya: cocok.

Setelah menemukan jari yang cocok dengan cincin sang raja, para prajurit langsung membawa si perempuan ke Bone. Para prajurit, sepanjang perjalanan, sumringah ceria karena merasa telah menyenangkan hati Raja.

Setelah keberangkatan itu, rumah si perempuan kosong melompong. Sampai seorang laki-laki, kakak si perempuan, pulang. Laki-laki inilah yang kelak di kemudian hari diberi gelar Karaeng Tinrowa Rikappara.
Si Karaeng kaget karena tak mendapatkan saudara perempuannya di rumah. Ia mencari-cari, sampai ia mendapat berita: saudara perempuannya telah dibawa oleh para prajurit raja Bone untuk dinikahkan dengan sang Raja.

Si Karaeng menjadi berang. Ia merasa telah dicampakkan harga dirinya sebagai keluarga laki-laki. Siri’-nya menggelegak di dadanya. Ia pun menyusun rencana untuk mengambil kembali saudara perempuannya dari tangan prajurit Raja.

Ia pun memulai perjalanan menggunakan kapal. Ia berlayar dari pantai Jeneponto menuju pantai Bone.
Setiba di Bone, ia segera menuju istana Raja. Tapi ia dihadang oleh para prajurit Raja.
“Katakan kepada rajamu, aku datang menjemput saudara perempuanku untuk pulang kembali ke Tino. Aku tak menerima saudara perempuanku menikah denga raja kalian,” kata si Karaeng kepada para Prajurit.

Pesan itu kemudian disampaikan kepada Raja. Sang Raja, karena merasa gengsi, tak menggubris
permintaan si Karaeng. “Aku tak ingin bertemu dia. Suruh dia pulang dan beritahu dia: ia harus bersyukur karena saudara perempuannya menikah dengan seorang raja,” sang Raja membalas pesan.
Mendengar jawaban Raja yang disampaikan prajuritnya, si Karaeng marah bukan main. “Baiklah. Jika Rajamu menginginkan seperti itu, aku sekarang mengikrarkan perang dengan Raja kalian.”

Si Karaeng kembali ke Tino. Di Tino ia menyiapkan pasukan untuk dikerahkan menuju Bone, berperang untuk mengambil kembali saudara perempuannya.

Setelah pasukan siap, berangkatlah mereka menuju Bone.

Setiba di Bone, berperanglah pasukan Karaeng Tinrowa Rikappara melawan prajurit raja Bone. Pasukan si Karaeng berperang dengan gagah berani. Tak kenal menyerah.

Perang yang berkecamuk itu pun berujung pada kematian tanpa sisa seluruh pasukan si Karaeng. Bahkan, si Karaeng pun menjemput ajal dalam peperangan ini.

Sang Raja mendengar berita ini. Ia senang karena merasa menang. “Bawa segera kepala si Karaeng itu ke hadapanku. Taruhlah kepalanya di atas nampan berlapis perunggu,” perintah sang Raja kepada prajuritnya.

Maka tak lama, penggalan kepala si Karaeng datang. Seorang prajuritnya membawa penggalan kepala itu menggunakan nampan berlapis perunggu. Tapi, Sang Raja harus kecewa. Ia senantiasa tak pernah melihat seksama wajah si Karaeng. Pasalnya, penggalan kepala si Karaeng selalu menolak menatap sang Raja. Setiap kepala si Karaeng dihadapkan ke arah Raja, secara otomatis kepala itu membalik arah, membelakangi sang Raja.

Beberapa hari kemudian, Raja memerintahkan untuk mengubur jasad si Karaeng beserta kepalanya itu. Sementara di Tino, banyak rakyat Tino menunggu kepulangan jasad si Karaeng. Sampai mereka mendengar kabar: si Karaeng telah dikuburkan di Bone. Rakyat Tino kecewa.

Sampai suatu hari, seseorang di Tino kesurupan dan mengaku sebagai si Karaeng. “Kalau kalian ingin menziarahi makamku, maka bangunlah kuburanku di tempat pertama kali aku memulai perjalananku.”
Maka, rakyat Tino pun membangun makam si Karaeng dekat pantai, di mana ia pertama kali berlayar menjemput saudara perempuannya di Bone.”

“Jadi, kuburan yang ada di dekat pantai saat ini, tak ada jasad si Karaeng?” tanyaku.

“Iya. Di kuburan itu tak ada jasad si Karaeng. Karena kuburan sebenarnya ada di Bone,” jawab Daeng Nata’.

Aku dan dua temanku terpaku di tempat duduk kami masing-masing. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran dua temanku itu. tapi, dalam diriku, ada sekelumit pertanyaan juga perenungan. Pertanyaan khas orang-orang yang belajar di universitas: seberapa valid data dari cerita si Daeng Nata’ ini? Bisakah cerita ini dipercaya secara ilmiah?

Tapi aku menolak memverifikasi semua pertanyaan itu. Aku ingin menikmati sekelumit imajinasi yang tengah bermain dalam kepalaku.

Aku membayangkan cerita itu sebagai fiksi perlawanan. Cerita yang dikembangkan rakyat yang setia kepada si Karaeng untuk membesarkan hati atas kematian si Karaeng. Perihal kepala si Karaeng yang menolak menatap sang Raja, musuhnya, jelas sesuatu yang dilebih-lebihkan. Tapi dari sana saya membayangkan, orang-orang yang menolak menyerah senantiasa akan selalu mencari cara untuk terus melawan. Dalam cerita sekali pun. Rakyat yang menerima berita kematian tak pernah menganggapnya sebagai suatu kekalahan.

Dari :  Dedy Ahmad Hermansyah
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Karaeng Tinrowa Rikappara"

Posting Komentar