Di Ujung Jembatan

Dia selalu menangis. Suaranya mengiris-iris hati yang mendengarnya. Serak dan sangat parau. Sudah setahun lebih dia menghuni jembatan. Tak ada yang tahu siapa namanya, dari mana dia datang dan untuk apa dia tinggal di jembatan itu.

Di bawah jembatan, mengalir sungai yang airnya tidak terlalu deras. Pada tepiannya, tepat di bawa salah satu sisi jembatan, dia telah membangun sebuah gubuk kecil yang dikelilingi bunga-bunga berwarna merah namun, rumput liar yang tumbuh tak teratur merayapi batang-batangnya, membuatnya tampak tidak menarik dipandang mata, ditambah lagi dengan plastik-plastik yang bertebaran hingga di bibir sungai.

Perempuan itu tidak merawat diri. Wajahnya pekat kelam tak beraura. Rambutnya yang dimerahkan matahari, tampak sangat kusut, tak tersisir rapi dan terikat. Pakaiannya pun tak pernah terganti. Perempuan separuh baya dengan tubuh yang kurus, berbaju abu-abu dengan rok celana berwarna hitam pudar dan tak beralas kaki. Selain cincin berwarna perak, dia tak memakai perhiasan apa-apa.

Perempuan itu tak pernah bicara kepada siapa pun. Dia juga tak pernah peduli kepada siapa pun. Dia makan dedaunan dan paku-pakuan yang tumbuh di sekitaran sungai. Sesekali, jika ada pengendara motor atau penumpang mobil-mobil yang melintas dan berempati, yang entah siapa, memberinya makanan. Kadang ada yang berhenti memberikannya dengan baik dan santun. Namun, tak jarang, orang-orang berempati yang melintas itu, hanya melemparkan padanya begitu saja.

Dia selalu menangis. Dalam tangisnya yang pilu, dia suka bergumam sendiri. Gumam yang asing dan aneh. Bergumam dengan potongan-potongan puisi dan mantra. Hingga di sebuah hari yang cerah, serombongan ibu-ibu berpakaian seragam melintas dengan bis besar dan dikawal mobil bersirene melihat perempuan itu di ujung jembatan. Sontak, kepala rombongan, seorang ibu cantik dengan sanggul rambut yang tampak mewah dengan hiasan emas di kepalanya memerintahkan untuk berhenti. Rombongan itu pun berhenti dengan terburu-buru.

Sambil diikuti oleh ibu-ibu yang lain, dia mendekati perempuan dekil yang duduk di salah satu ujung jembatan. Para pengawal yang juga berseragam, hanya melihat-lihat dari jauh saja. Setelah mendekati perempuan dekil itu, kepala rombongan itu terus mencoba menyapa dan membangun komunikasi tapi, selalu gagal. Perempuan dekil itu tak pernah menjawab. Dia hanya terus terdiam dan menatap kosong ke sisi lain ujung jembatan. Karena merasa kasihan, kepala rombongan berdiskusi sejenak dengan ibu-ibu yang lain. Sesaat kemudian, mereka bersepakat untuk membantu perempuan dekil itu. Tugas pun dibagi dengan cepat. Kepatuhan ibu-ibu terhadap perempuan bersanggul mewah itu membuat pembagian tugas cepat selesai. Ada yang bertugas memandikan perempuan dekil itu. Ada yang bertugas memperbaiki gubuk, membersihkan sekeliling gubuk, membuat pagar, menata bunga yang tumbuh, membuat tempat duduk dengan menggeser bebatuan besar dari tepian sungai, membuat jamban, beberapa di antara mereka ada yang bergegas menuju mobil bis besar dan mengambil beberapa potong pakaian dan beberapa jenis makanan ringan, alat dapur, dan juga sembako. Hanya dalam hitungan beberapa jam, kondisi gubuk dan perempuan itu telah berubah menjadi lebih baik dan bersih. Beberapa wartawan yang kebetulan menyertai rombongan itu sibuk memotret, mencari angel yang tepat. Beberapa di antara mereka saling berbisik bahwa; moment ini sangat baik dan bisa menaikkan rating survey dan mencitrapositifkan suami ibu ketua penggerak PKK pada PILKADA dua bulan ke depan di daerahya, kepedulian sosial kata mereka.

Tepat ketika matahari baru terbenam, rombongan itu meninggalkan jembatan, meninggalkan sebuah gubuk yang bersih dikelilingi pagar dan taman bunga, yang di depannya ada empat bongkah batu yang disusun rapi mengelilingi sebuah batu bundar yang mirip meja. Di belakangnya, sebuah dapur yang dibuat dari batu kali kecil yang tersusun rapi pula. Atapnya dari daun rumbia yang teranyam halus, dindingnya dari potongan bambu dan kulit kayu. Perempuan itu pun sudah tak dekil lagi. Dia telah bersalin. Bajunya berwarna merah maron dengan celana kain hitam agak longgar dan bersandal kulit. Rambutnya telah tersisir rapi dan harum, melengkapi aroma tubuhnya yang kini berbau melati. Di telinganya, masing-masing tergantung anting-anting yang juga berwarna perak. Tapi, tatapannya tetap dingin, kosong dan tetap tak pernah bicara. Wajah ibu-ibu berseragam itu tampak puas dan senang. Perempuan dengan sanggul mewah itu bahkan terus tersenyum dan bersenandung girang dalam perjalanan.

***

Malam itu, di sebuah rumah besar dan berpenjagaan ketat, perempuan yang besanggul mewah itu telah bersalin dengan pakaian tidur. Tubuhnya tampak segar setelah berendam beberapa saat dengan air hangat. Ia tak sabar menunggu pagi. Ingin membaca berita tentang dirinya di sebuah Koran yang judul beritanya dia pesan sendiri, ISTRI CALON BUPATI, PEDULI KAUM DEKIL. Suaminya yang belum pulang dan entah ke pelosok mana berkampanye membuatnya cepat terlelap, Tak ada yang mengganggu.

***

Ia mengemudi mobilnya dengan lambat. Seluruh pengawal dan rombongannya telah disuruhya pulang terlebih dahulu setelah mengunjungi seduah desa yang terletak di lereng gunung. Ia pulang sendiri. Musik slow pop mengalun perlahan di tape mobilnya. Kabut tipis yang merambati bukit dan hutan tipis mengantarkan suasana hatinya pada kesenduan. Empat tahun lebih berkutat dengan kekuasaan membuatnya tak banyak memiliki waktu untuk menikmati kesendirian. Ketika sebuah lagu kesenangannya mengalun, tiba-tiba pintu kenangan lama di hatinya terkuak. Dia terkenang dengan kekasihnya. Kekasih yang pernah menjadi ratu dalam mimpi-mimpinya, kekasih pertamanya. Riyani. Ia membisikkan nama itu di hatinya. Imajinasinya terus mengenang wajahnya kekasihnya. Ia mengimajinasikan guratan-guratan tipis di wajahnya.

Dalam keremangan kabut, di ujung jembatan matanya menangkap sebuah bayangan. Dia menghentikan mobilnya. Matanya tak lepas dari bayangan itu. Dia terus mencermatinya. Hatinya yang sedang diselimuti kenangan indah tiba-tiba tersentak bertanya-tanya. Cukup lama dia terdiam menatap bayangan itu lalu akhirnya turun dari mobil mewahnya. Perlahan dia mendekati sosok yang ternyata adalah perempuan. Perempuan dengan Baju berwarna merah maron dengan celana kain hitam agak longgar dan bersandal kulit.

Dia menatap wajah perempuan itu. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin tiba-tiba mengucur di seluruh tubuhnya. Dia merasa tak percaya saat dia melihat wajah perempuan itu. Dia mengenalnya. Namun perempuan itu seolah tak terusik dengan kehadirannya. Perempuan itu diam saja dengan sorot mata yang hampa. Dalam ketidakpercayaannya dengan apa yang dilihatnya itu, pintu kenangannya yang lain terkuak dengan sangat cepat. Dia terkenang sebuah hari ketika dia pertama kali mengajak Riyani menikmati senja. Menyusuri garis pantai dengan bertelanjang kaki. Menatap laut luas dengan berbagi cerita tentang kisah-kisah percintaan yang agung dalam sejarah.

“Riyani, bolehkah aku menitip kenangan tentang senja?” bisiknya di telinga kekasihnya itu, tepat ketika senja mulai menjadi jingga beberapa menit setelah matahari telah purna benam. Kekasihnya hanya mengangguk mengiyakan.

“Riyani, suatu hari, semisal kita tak sejodoh, dan kelak datang seorang lelaki yang ingin meminang cintamu, Tanyakanlah padanya, apakah dia suka senja? Jika dia bertanya mengapa kau bertanya seperti itu, katakanlah padanya bahwa pernah suatu hari, ada seorang lelaki berpesan padaku bahwa jika kelak ada yang datang hendak meminang cintamu, bertanyalah padanya, apakah dia juga suka senja?” Keduanya lalu tertawa mengiringi suara ombak kecil yang mencium bibir pantai tak henti. Di jelang malam, dia mendekatkan wajah ke wajah kekasihnya. Sambil mengecup lembut pangkal telinganya dia berbisik “Riyani, apakah kau suka senja?”

Pintu kenangan yang baru saja terkuak dalam ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya itu membuat air matanya tiba-tiba jatuh menderas. Kenangan yang tak bisa dilupakannya. Kenangan itu selalu datang membayang. Dan pertanyaan tentang senja yang jingga itu terus menggema di hatinya. Perpisahan yang tiba-tiba dua belas tahun lalu membuatnya tak bahagia dalam penantian yang samar. Sebuah kendaraan melintasi jembatan. Sorot lampunya menerpa wajah perempuan itu. Dia tersentak kembali dengan apa yang dilihatnya. Dia merasa tak mengenal perempuan itu. Ada guratan aneh dan tak dikenalnya di wajah perempuan itu. Dia melangkah mundur, bergegas meninggalkan perempuan itu dan menaiki mobilnya dengan tergesa. Dia meninggalkan perempuan itu tanpa menoleh sekali lagi pun. Dia terus memacu mobilnya bagai kesetanan. Hatinya yang kini diselimuti kehampaan membuatnya dengan tidak perduli jalan-jalan berlubang dan berlumpur. Malam itu dia tak banyak bicara. Di rumah jabatannya, Setelah besalin, dia segera menyusul istrinya yang telah lelap. Memeluknya dengan cinta kepura-puraan. Imajinasinya terus dipenuhi dengan wajah Riyani. Mantan kekasihnya, hati kecilnya terus menggemakan nama itu. Hingga terlelap.

Sementara itu, si perempuan jembatan tampak meneteskan air mata setelah kepergian Lelaki tadi. Tak lama setelah itu, ia pun bergegas meninggalkan ujung jembatan. Ia kembali ke gubuknya di tepi sungai, tepat di sisi kiri ujung jembatan arah timur. Malam itu, tangisnya terdengar lebih perih dan suaranya lebih besar dan bahkan terdengar hingga pagi.



***

Setelah seminggu berita Koran yang berjudul CALON BUPATI, PEDULI KAUM DEKIL, beritanya terus diperbincangkan oleh rakyat di kabupaten itu. Semua mengelu-elukannya, menaruh simpati atas kepedulian ibu PKK mereka. Kemanapun ia pergi mengkampanyekan suaminya yang mencalonkan diri sebagai bupati lagi, cerita berita tentang kepeduliannya pada kaum dekil yang terwakili dengan perempuan yang ditolongnya selalu menjadi topik perbincangan utama rakyatnya. Survey terakhir pun menemukan bahwa popularitas suaminya meningkat. Dan telah banyak yang memastikan bahwa incumbent itu pasti akan terpilih kembali. Sebagai ucapan terima kasihnya kepada perempuan dekil itu, istri bupati itu pun membawa si perempuan jembatan ke rumah jabatannya. Merawatnya dengan baik, memeberinya pakaian yang bagus, kamar khusus dan pelayan yang terus setia mendampinginya. Walaupun perempuan jembatan itu tak pernah bicara sepatah kata pun. Ia tetap saja memperlakukannya dengan istimewa.

Ketika bupati itu baru saja pulang dari luar negeri di siang itu, ia tak bergegas pulang ke rumah jabatannya. Ia segera menuju ke jembatan tempatnya bertemu dengan seseorang yang mengingatkannya kepada wajah mantan kekasihnya. Namun, ia tak menemukan siapa-siapa lagi di sana. Dalam keresahannya mencari perempuan itu, dia melihat sebuah nama dan sebaris kalimat yang ditulis dengan paksa pada sebuah beton penyangga besi jembatan tepat ditempat pertemuannya dengan perempuan asing di malam itu; Namaku Riyani, perempuan jembatan yang mencintai senja yang jingga. Matanya membelalak membaca nama itu. Dia merasa mengenali tulisan itu. Dia pun pulang dengan sangat tergesa dengan mobil mewahnya. Perasaannya berkecamuk. Dia ingin menceritakan peristiwa ini pada istrinya. Peristiwa yang tak sempat diceritakannya seminggu lalu karena agenda kerjanya di luar negeri dan peristiwa yang dilihatnya baru saja. Dia ingin menceritakan bahwa dia telah merasa telah bertemu dengan Riyani. Perempuan yang selalu diceritakannya, selalu terus menghantui kehidupannya. Sebab dia pernah memperkosanya dengan paksa di sebuah pantai, di sebuah hari setelah senja puluhan tahun lalu kemudian mencampakkannya seperti bangkai anjing. Lalu bayang-bayang dosa dan neraka terus menyergap kesadarannya. Mobilnya terus melaju dengan sangat kencang. Hatinya tak sabar ingin lekas sampai di rumah jabatannya. Ia tak sabar lagi bercerita pada istrinya bahwa dia merasa telah bertemu dengan Riyani. Mantan Kekasihnya. Di ujung sebuah jembatan.

Dari : Andhika Mappasomba
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Di Ujung Jembatan"

Posting Komentar